Radio Hilversum Belanda telah menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada, Yogyakarta telah diduduki, pemimpinnya telah ditawan, dan semua daerah Indonesia telah dikuasai oleh Belanda. Maka pusat pemerintahan tertuju pada daerah pedalaman Sumatera Barat sebagai pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) 19 Desember 1948 dibawah pimpinan Syarifuddin Prawiranegara, yang diberi mandat langsung oleh Sukarno, walaupun mandat yang disampaikan lewat telegram itu tidak sampai ketangan pemimpin yang ada di Bukit Tinggi.
Tugu Radio Rimba Raya
Tujuan Sukarno pada saat itu untuk membentuk PDRI adalah semata-mata agar wilayah kedaulatan Indonesia, secara de facto yang tercantum pada perjanjian Linggar Jati 15 Februari 1946, eksistensinya tetap diakui secara politik di mata dunia internasional. Setelah perjanjian Roem Royen 07 Mei 1949, kemudian PDRI menyerahkan kembali kepemimmpinannya ke Jogjakarta dimana Aceh tidak termasuk kedalam bagian dari Republik Indonesia Serikat ( RIS ).
Dalam masa revolusi, pada saat Agresi pertama 21 Juli 1947 dan kedua 19 desember 1948, yang mana Belanda telah menyerang Indonesia secara membabi buta dan ingin memperluas jajahannya sampai ke Aceh, maka Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh mengadakan sidang dewan keamanan di Kutaraja, dan memutuskan agar para pejuang Aceh yang sebagian tergabung dalam Barisan Gurilla Rakyat ( BAGURA ) dibawah pimpinan Tengku Ilyas Lebe dan Tengku Saleh Adry berperang di Medan Area, untuk mempertahankan republik menuju terbentuknya negara yang benar-benar berdaulat.
Disamping pengiriman pasukan BAGURA, ada hal penting lain yang di bicarakan, yaitu bagaimana cara menciptakan propaganda-propaganda yang bisa mempengaruhi opini dunia internasional juga meng-counter berita berita yang disiarkan Belanda. Oleh karena itu pihak militer sendiri dibawah pimpinan Tengku M.Daud Beureueh, melalui kolonel Husein Yusuf, maka diperintahkanlah saudara Nif Karim untuk berangkat ke Singapura membeli seperangkat alat radio, yang kemudian diselundupkan melalui selat Malaka menuju perairan Aceh.
Setelah sampai ke Aceh alat radio itu langsung dibawa menuju Bireuen, sementara antenanya ditempatkan di Krueng Simpur, dan studionya dioperasikan dari rumah Kolonel Husein Yusuf, namun oleh Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Tengku M. Daud Bereueh memerintahkan, supaya radio divisi X dipindahkan ke Kutaraja, antenanya dipasang di Bukit Cut Gue, dan studionya terletak di Peunayong.
Kemudian terjadilah agresi Belanda ke II, dimana pemerintahan Republik Jogja sudah tidak ada lagi, karena alasan keamanan itulah diputuskan Radio Divisi X dipindahkan lagi ke pedalaman Aceh, tepatnya di Burni Bius, Takengon.
Namun pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan radio siluman tersebut, Tapi para pejuang Aceh dengan taktik perang gerilya tidak pernah kehabisan akal untuk mengelabui Belanda yang ingin menghancurkan pergerakan radio siluman milik rakyat Aceh tersebut, yang pada akhirnya radio itu ditempatkan didalam hutan rimba raya Ronga-Ronga, Takengon.
Dengan pantauan gelombang radio pesawat tempur Belanda, mereka mencari keberadaan radio siluman tersebut secara besar-besaran, namun Belanda tetap tidak berhasil, karena sistem penyiaran yang digunakan oleh Radio Divisi X berganti-ganti signal calling, yang sebenarnya hanya dilakukan oleh satu radio saja yaitu Radio Rimba Raya, signal calling yang pernah dipakai itu antara lain : Suara Radio Rimba Raya, Suara Radio Divisi X, dan Suara Radio Republik Indonesia.
Dengan tidak melupakan peran radio-radio kecil lainnya yang ada di jawa maupun di Sumatera yang membantu penyampaian berita-berita lokal setempat, melalui kode morse secara estafet, dari Playen Gunung Kidul, ke pedalaman Sumatera Barat, dan akhirnya sampai kepada Radio Rimba Raya di Aceh yang kemudian menyiarkannya kepenjuru dunia. Bukan hanya berita-berita propaganda saja yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya terhadap perjuangan Indonesia, bahkan sampai hal yang kecil sekalipun disiarkannya, seperti memesan obat untuk Panglima Besar Jenderal Sudirman ke luar negeri.
Walaupun Radio Rimba Raya tersebut ala kadarnya, tapi bisa mempengaruhi Dewan Keamanan PBB, dan dapat merubah opini dunia internasional, sebab berita yang disiarkan berbunyi “ Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada, Pemerintahannya masih ada, dan disini adalah Aceh “, maka DK PBB membuat kebijakan agar segera mengirim tim peninjau ke Indonesia, untuk membuktikan pernyataan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya, karena wilayah yang satu-satunya tinggal dan tidak di sentuh Belanda adalah “ ACEH ”, ternyata berita itu benar, maka tergeraklah DK PBB untuk segera mengadakan perundingan Indonesia – Belanda, hingga terwujudlah “ Konferensi Meja Bundar “ ( KMB ), yang akhirnya menentukan kedaulatan Republik Indonesia.
Tapi alangkah sedihnya...!!!
Radio Revolusi Perjuangan Rimba Raya seakan-akan lenyap dari muka bumi ini, walaupun ruh perjuangan Indonesia telah menceraikannya, namun sebagai seorang ibu yang bijaksana Radio Rimba Raya tak pernah benci terhadap anak yang dilahirkannya. Sejarah yang menjadi hakikat perjuangan akhir bangsa Indonesia ini dari cengkeraman imperialisme Belanda, dianggap seperti dongeng yang ketinggalan jaman oleh bangsa yang telah dibesarkan dari penderitaan akibat penjajahan itu sendiri. Kata-kata bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa pahlawannya, seolah-olah tidak berlaku lagi di jaman yang katanya modern ini dan menjadi sampah setelah Indonesia merdeka, alangkah picik dan durhakanya kita sebagai anak bangsa dan penerus perjuangan melupakan bagian dari proses lahirnya negara ini.
Setelah saya sempat menonton secara khusus Film dokumenter Radio Rimba Raya karya “ Ikmal Gopi “, walaupun belum diberi effect, dan belum adanya proses mixing maupun grading gambar, saya tergugah untuk menulis artikel ini walaupun terkesan asal-asalan, yang penting ada secuil kepedulian saya sebagai generasi muda Aceh, terhadap nilai-nilai perjuangan dan sumbangsih bangsa Aceh terhadap Indonesia ini.
http://www.facebook.com/Sejarah-Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar